Jumat, 30 November 2012

Tugas KE 7



Demo Karyawan Freeport Picu Kenaikan Harga Emas

SINGAPURA - Harga emas bergerak menguat ke level tertingginya dalam dua pekan terakhir. Salah satu pemicunya adalah aksi demonstrasi besar-besaran karyawan PT Freeport Indonesia sehingga produksi tambang emasnya terhenti.
Aksi mogok kerja oleh sekira 8.000 pekerja di tambang Freeport-McMoRan Copper & Gold di Indonesia memasuki hari keempat. Produksi emas dan tembaga pun telah lumpuh di tambang yang memegang cadangan emas terbesar di dunia.
Seperti dikutip dari Reuters, Kamis (7/7/2011), selain kasus demonstrasi di Freeport, faktor lainnya kekhawatiran inflasi setelah China menaikkan suku untuk waktu ketiga tahun ini.
China kembali menaikan suku bunganya kemarin, Rabu (6/7/2011). Ini adalah kenaikan ketiga kalinya pada tahun ini. Hal ini menunjukan menjinakkan inflasi tetap menjadi prioritas utama untuk negara dengan laju pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Harga emas di pasar spot mencapai level tertingginya dalam dua minggu di USD1.533,45 per ounce. Tapi sekarang, harga komoditas ini sedikit berubah menjadi USD1.526,71 per ounce. US gold GCcv1 turun tipis 0,1 persen menjadi USD1.527,20.
Produksi pertambangan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, masih lumpuh hingga hari ini. Pertemuan SPSI karyawan Freeport bersama pihak manajemen Freeport pun masih buntu.
“Aksi mogok massal masih berlanjut. Ini disebabkan perundingan antara pihak manajemen bersama pengurus SPSI karyawan belum menemukan kesepakatan,” jelas salah seorang karyawan Freeport di Timika, Rabu (6/7/2011).
            Karyawan menuntut  manajemen mengubah perjanjian upah kerja sesuai dengan standar perusahaan yang di bawah naungan perusahaan Freeport McMoran. Karyawan mengatakan, karyawan Freeport di Timika mendapat upah rendah. Di mana selisihnya sampai USD30perjam.
            Menurut data pihak SPSI, mereka hanya dibayar USD1,5-USD3 per jam. Sementara di pertambangan milik Freeport McMoran yang lain, rata-rata dibayar sebesar USD15-USD35 per jam. (wdi)

Analisis :

Sudut Pandang Buruh : Menurut pendapat saya dari sudut pandang buruh,  jika sistem upah yang diberlakukan oleh perusahaan Freeport memang benar seperti itu, maka para karyawan Freeport berhak untuk melakukan demo tersebut. Para karyawan berhak mendapatkan upah yang layak. Sebagai pekerja tambang emas dengan upah yang kecil itu sangatlah tidak manusiawi, terlebih lagi dengan adanya perbedaan upah yang sangat tinggi dengan sistem upah antara Perusahaan Freeport Mc. Moran dengan Perusahaan Freeport di Timika yang mencapai selisih hingga USD 30 per jam. Jika perusahaan Freeport Mc. Moran rata-rata para karyawannya dibayar sebesar USD 15 – USD 35 per jam, maka di Freeport Timika para karyawan hanya dibayar USD 1,5 – USD 3 per jam. Sehingga jika para karyawan mendemo perusahaan Freeport di Timika dengan tuntutan manajemen harus mengubah perjanjian upah kerja sesuai dengan standar perusahaan yang di bawah naungan perusahaan Freeport McMoran, itu adalah hal yang wajar. Karena bagaimanapun sistem upah yang diberikan oleh perusahaan Freeport di Timika sangatlah tidak layak bagi para pekerja tambang emas.

Sudut Pandang Perusahaan : Menurut saya dari sudut pandang majikan, Perusahaan Freeport harus memberikan upah yang sesuai & layak bagi para pekerja tambang emas. Dengan adanya perbedaan upah yang besar hingga mencapai selisish USD 30 per jam itu sangatlah tidak layak bagi para pekerja tambang emas. Demi mewujudkan kesejahteraan pekerja tambang emas dan demi terciptanya suasana kerja yang enak, aman dan normal kembali, Perusahaan Freeport di Timika harus menyepakati tuntutan para pekerja. Sehingga dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak itu pula, diharapkan harga & level emas bisa kembali ke posisi yang normal.

Sudut Pandang Pemerintah : Menurut saya dari sudut pandang pemerintah, sebaiknya pemerintah harus lebih mengawasi dengan teliti & selektif dalam sistem perupahan yang akan diberikan oleh pihak investor asing dan domestik, perusahaan swasta maupun milik pemerintah. Demi terciptanya etos kerja yang baik & demi terciptanya suasana kerja yang aman dan nyaman. Selain itu, dengan standart sistem perupahan yang baik diharapkan tidak ada lagi terjadinya demo besar-besaran dan aksi mogok kerja massal yang mengakibatkan harga suatu barang maupun jasa menjadi melambung tinggi hingga menyebabkan inflasi. Sehingga pemerintah harus lebih selektif lagi dalam memberikan dan mengawasi sistem perupahan di Indonesia.












Selasa, 13 November 2012

Tugas Ke 6

Corporate Social Responsibility


Definisi CSR

Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting dari pada sekedar profitability.

Menurut Kotler dan Nancy (2005) Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan
Menurut CSR Forum (Wibisono, 2007) Corporate Social Responsibility (CSR) didefinisikan sebagai bisnis yang dilakukan secara transparan dan terbuka serta berdasarkan pada nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi rasa hormat kepada karyawan, komunitas dan lingkungan.

Tujuan CSR

Berdasarkan tujuan CSR : Apakah untuk promosi atau pemberdayaan masyarakat:

1. Perusahaan Pasif. Perusahaan yang menerapkan CSR tanpa tujuan jelas: bukan untuk promosi, bukan pula untuk pemberdayaan. Sekadar melakukan kegiatan karitatif. Perusahaan seperti ini melihat promosi dan CSR sebagai hal yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.

2. Perusahaan Impresif. CSR lebih diutamakan untuk promosi dari pada untuk pemberdayaan. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan ”tebar pesona” ketimbang ”tebar karya”.

3. Perusahaan Agresif. CSR lebih ditujukan untuk pemberdayaan ketimbang promosi. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan karya nyata ketimbang tebar pesona.

4. Perusahaan Progresif. Perusahaan menerapkan CSR untuk tujuan promosi dan sekaligus pemberdayaan. Promosi dan CSR dipandang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menunjang satu sama lain bagi kemajuan perusahaan

Manfaat CSR Bagi Masyarakat

CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty).

Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

Keuntungan CSR Bagi Perusahaan

Berdasarkan proporsi keuntungan perusahaan dan besarnya anggaran CSR:

1. Perusahaan Minimalis. Perusahaan yang memiliki profit dan anggaran CSR yang rendah. Perusahaan kecil dan lemah biasanya termasuk kategori ini.

2. Perusahaan Ekonomis. Perusahaan yang memiliki keuntungan tinggi, namun anggaran CSR-nya rendah. Perusahaan besar, namun pelit.

3. Perusahaan Humanis. Meskipun profit perusahaan rendah, proporsi anggaran CSRnya relatif tinggi. Disebut perusahaan dermawan atau baik hati.

4. Perusahaan Reformis. Perusahaan yang memiliki profit dan anggaran CSR yang tinggi. Perusahaan seperti ini memandang CSR bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk lebih maju

Manfaat CSR Bagi Perusahaan

Ada empat manfaat CSR terhadap perusahaan (Wikipedia, 2008) :
 
1. Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera “Beyond Petroleum”-nya), sering dianggap sebagai memiliki image unik terkait isu lingkungan.

2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interviu, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja.

3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.

4. Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-resiko bisnis.


Contoh Perusahaan yang Telah Menerapkan CSR

Sebagai bentuk komitmen Indosat dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, Indosat telah melaksanakan berbagai progam yang kami harapkan dapat meningkatkan kehidupan masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik.

Corporate Social Responsibility yang kami lakukan tidak terbatas hanya pada pengembangan dan peningkatan kualitas masyarakat pada umumnya, namun juga menyangkut tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Kepedulian terhadap pelanggan, pengembangan Sumber Daya Manusia, mengembangkan Green Environment serta memberikan dukungan dalam pengembangan komunitas dan lingkungan sosial. Setiap fungsi yang ada, saling melengkapi demi tercapainya CSR yang mampu memenuhi tujuan Indosat dalam menerapkan ISO 26000 di perusahaan.

Penerapan CSR Indosat mencakup 5 inisiatif, yang dilakukan secara berkesinambungan yaitu:


Organizational Governance

Penerapan tata kelola Perusahaan terbaik termasuk mematuhi regulasi dan ketentuan yang berlaku, berlandaskan 5 prinsip: transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, interpendensi dan kesetaraan.

Consumer Issues
Menyediakan dan mengembangkan produk dan jasa telekomunikasi yang memberikan manfaat luas bagi pemakainya, layanan yang transparan dan terpercaya.

Labor Practices
Mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan antara Perusahaan dan karyawan serta pengembangan sistem, organisasi dan fasilitas pendukung sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Perusahaan.

Environment
Mengembangkan budaya Peduli lingkungan termasuk upaya-upaya nyata untuk mengurangi penggunaan emisi karbon dalam kegiatan perusahaan.

Community Involvement
Ikut mengembangkan kualitas hidup komunitas dalam hal kualitas pendidikan sekolah dan olahraga, kualitas kesehatan, serta ikut serta dalam mendukung kegiatan sosial komunitas termasuk bantuan saat bencana/musibah.

CSR Goal Indosat 
Bertumbuh, mematuhi ketentuan dan regulasi yang berlaku serta Peduli kepada masyarakat.

Program CSR di tahun 2008 memiliki tema khusus “Indosat Cinta Indonesia”, yang kemudian pada tahun 2009, tema CSR Indosat berkembang menjadi “Satukan Cinta Negeri” sebagai bentuk refleksi komitmen dan tanggungjawab Indosat sebagai perusahaan di Indonesia yang Peduli atas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan, serta upayanya untuk senantiasa berkarya, memberikan manfaat, serta mengajak peran serta seluruh stakeholder untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik, yang merupakan terjemahan  dari keinginan   masyarakat pada umumnya untuk terlibat secara aktif dalam berbagai program sosial Indosat.

Program Indosat “Satukan Cinta Negeri” diterapkan melalui berbagai aktifitas antara lain adalah:
 


Program yang telah dilakukan akan terus berjalan dan ditingkatkan kualitasnya. Seluruh program CSR yang dilaksanakan oleh Indosat akan terus dievaluasi secara berkala agar betul-betul dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan Bangsa Indonesia sesuai CSR Goal Indosat.

Betapapun besarnya masalah yang dihadapi dunia pendidikan, kesehatan, lingkungan serta permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia pada umumnya, maka setiap langkah nyata yang dilakukan oleh Indosat merupakan tahapan yang berarti untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Sumber :




http://www.indosat.com/corporate_responsibility

Minggu, 04 November 2012

Tugas Ke 5




Kasus iPad dan Perlindungan Konsumen


Dian Y. Negara (42) dan Randy L. Samu (29) saat ini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keduanya di dakwa melanggar ketentuan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, karena telah “menjual” iPad tanpa disertai dengan manual berbahasa Indonesia. Tanpa bermaksud untuk mencampuri dan intervensi jalannya persidangan, ada beberapa hal yang menarik untuk dijadikan pelajaran dari kasus iPad yang dialami Dian dan Randy.

Benar memang ada ketentuan  dalam pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen, bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan / atau memperdagangkan barang dan / jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ancaman terhadap pelanggaran ketentuan di atas adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal sebesar RP 2 milyar rupiah ( pasal 62 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen ).

Arti penting bagi konsumen adanya pengaturan barang yang beredar di Indonesia harus mencantumkan informasi dan / atau petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia adalah :
1.      Sebagai pemenuhan hak konsumen, khususnya hak untuk mendapatkan informasi. Ada tiga aspek dalam pemenuhan hak atas informasi ini, yaitu ketersediaan informasi, informasi tersebut menggunakan bahasa yang dipahami konsumen dan informasi tersebut ditampilkan dalam media yang dapat dengan mudah diakses oleh konsumen;

2.      Untuk meyakinkan bahwa sebelum konsumen membeli dan menggunakan produk tersebut, konsumen sudah paham dengan benar tentang produk tersebut (product knowledge), khususnua menyangkut kegunaan / fungsi dari produk tersebut, spesifikasi produk dan mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dg produk tersebut, serta mengerti apa harus dilakukan konsumen ketika ada masalah dengan produk tersebut;

3.      Dengan adanya manual berbahasa Indonesia, berarti besar kemungkinan    produk tersebut masuk ke Indonesia secara legal dan produk tersebut dibuat dan diedarkan untuk pasar Indonesia.

4.      Produk tersebut dibuat sudah disesuaikan dengan infrastruktur yang ada di Indonesia . Sama-sama  perangkat telekomunikasi, kadar sisem yang dipakai antar negara berbeda. Jadi ada kepastian  Infrastruktur yang ada di Indonesia aksesible terhadap produk tersebut.


UU Perlindungan konsumen tidak secara spesifik mengatur bahwa informasi tersebut harus dalam bentuk buku panduan. Dengan demikian, informasi atau petunjuk penggunaan dapat dalam bentuk video tutorial.
Indonesia dengan penduduk  sebesar 240.000 juta  adalah pasar potensial .  Untuk produk handset, misalnya, ada 180 juta pelanggan telepon seluler ( Sumber : BRTI, Sept 2010 ). Life time produk hand set, rata-rata dua tahun.  Katakanlah setengah pengguna seluler setiap dua tahun ganti handset, ada kebutuhan sebanyak 90 juta handset setiap dua tahun. Sebuah pasar yang membuat semua vendor ngiler.

Untuk  produk telekomunikasi misalnya, vendor yang akan memasukkan produk ke Indonesia, dengan potensi pasar yang begitu besar,  juga sangat berkepentingan konsumen Indoneesia memahami produk yang akan di pasarkan, sehingga produk yang di pasarkan di Indonesia juga sudah disertai dengan informasi dan petunjuk dalam bahasa Indonesia.

Ada dua model yang dilakukan produsen / vendor :

(1) membuat secara khusus informasi dan petunjuk pemakaian dalam bahasa Indonesia untuk produk yang khusus di pasarkan di Indonesia ;

(2) membuat  informasi dan petunjuk pemakaian sekaligus dalam berbagai bahasa sesuai dengan bahasa negara yang menjadi target pemasaran produk tersebut.

Dengan demikian tidak ada yang salah dengan ketentuan  adanya keharusan informasi dan / atau petunjuk dalam bahasa Indonesia dalam UU Perlindungan Konsumen. Kalaupun ada yang agak aneh, bukan dalam konteks substansi UU, tetapi lebih pada aspek penenegakkan hukum. Kenapa hanya seorang Dian dan Randy yang dimintai pertanggungjawaban pidana gara-gara menjual dua buah Ipad. Bukan pedagang besar yang nyata-nyata melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Dian dan Randy.

Hal lain, ketika Pemerintah bersama DPR menyetujui ketentuan bahwa barang dan jasa yang masuk ke pasar Indonesia harus disertai dengan informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia, mestinya sudah mengukur, bahwa Pemerintah punya aparat yang mengawasi pasar domestik steril dari produk yang tidak disertai dengan informasi petunjuk pemakaian dalam bahasa Indonesia.

Fakta di lapangan dengan mudah didapatkan produk import tanpa disertai dengan informasi dan / atau petunjuk pemakaian dalam bahasa Indonesia, adalah bukti kegagalan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap produk yang beredar di pasar.

Analisis

A. Sudut Pandang Ekonomis

Bisnis adalah kegiatan ekonomi yang menguntungkan apabila dapat dijalankan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku di negara tersebut. Pada kasus diatas, Indonesia dengan penduduk  sebesar 240.000 juta  adalah pasar potensial. Untuk produk handset dan telekomunikasi, vendor yang akan memasukkan produk ke Indonesia dengan potensi pasar yang begitu besar,  juga sangat berkepentingan konsumen Indoneesia memahami produk yang akan di pasarkan, sehingga produk yang di pasarkan di Indonesia juga sudah disertai dengan informasi dan petunjuk dalam bahasa Indonesia.  Selain itu, bisnis juga merupakan kegiatan hubungan antara produsen dengan pekerja, produsen dengan konsumen dan produsen dengan produsen.

Kasus tersebut juga didukung oleh UU Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 mengenai Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha yang tercantum pada pasal :

Hak Pelaku Usaha

Pasal 6 ( a ) : “Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang di perdagangkan”.

Pasal 6 ( c) : “ Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hokum sengketa konsumen”.

Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 7 ( a ) : “ beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya”

Pasal 7 ( d ) : “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

B. Sudut Pandang Etika

Dalam bisnis mengambil keuntungan dalam kegiatan ekonomi adalah hal yang wajar. Akan tetapi jangan sampai keuntungan yang kita peroleh justru merugikan orang lain. Pada kasus diatas, banyak produsen besar yang menjual produk import di pasar Negara kita tanpa disertai dengan informasi dan / atau petunjuk pemakaian dalam bahasa Indonesia. Padahal sudah di atur dalam UU Perlindungan Konsumennomor 8 tahun 1999 mengenai Kewajiban Pelaku Usaha yang tercantum pada pasal :

Pasal 7 ( f ) : “memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang di perdagangkan.

Pasal 7 ( g ) : “member kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Sudut Pandang Hukum

Dapat dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga berhubungan dengan hokum, hokum dagang atau hokum bisnis. Semuanya berkaitan dan diatur oleh hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Negara tersebut. Pada kasus diatas, banyak produsen besar lokal maupun asing yang melakukan kegiatan ekonomi di pasaran Indonesia. Akan tetapi, banyak juga yang terdapat barang-barang elektronik maupun gadget yang tidak menggunakan dan tanpa disertai dengan informasi dan / atau petunjuk pemakaian dalam bahasa Indonesia. Ini adalah bukti kegagalan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap produk yang beredar di pasar.

Kasus tersebut juga telah di atur dalam UU Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 mengenai Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha yang tercantum pada pasal :

Pasal 8 ( 1 ) ( a ) : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sessuai dengan standart yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8 ( 1 ) ( j ) : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Solusi

Solusi dari Sisi Konsumen

Dari kasus diatas, solusi yang dapat diambil dari sisi konsumen adalah konsumen berhak mendapatkan barang dan/atau jasa yang layak dan berkualitas. Sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia tentang UU Perlindungan Hak Konsumen nomor 8 tahun 1999, mengenai Hak dan kewajiban konsumen, yaitu :

Hak Konsumen

Pasal 4 ( a ) : “hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Pasal 4 ( c ) : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Pasal 4 ( h ) : “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Kewajiban Konsumen

Pasal 5 ( a ) : “membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

Pasal 5 ( c ) : “membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati”.

Solusi dari Sisi Produsen

Dari kasus diatas, solusi yang dapat diambil dari sisi produsen adalah produsen berhak menghasilkan barang dan/atau jasa lalu memasarkannya ke pasar Indonesia dengan syarat, harus mematuhi undang-undang yang telah di atur dan di tetapkan oleh pemerintah Indonesia.  Sesuai yang tertuang dalam UU Perlindungan Hak Konsumen nomor 8 tahun 1999, mengenai Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha, yaitu :
Hak Pelaku Usaha

Pasal 6 ( a ) : “hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”.

Pasal 6 ( c ) :”hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen”.

Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 7 ( a ) : “ beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya”

Pasal 7 ( d ) : “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.




Minggu, 28 Oktober 2012

Tugas Ke 4


GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Perkembangan usaha dewasa ini telah sampai pada tahap persaingan global dan terbuka dengan dinamika perubahan yang demikian cepat. Dalam situasi kompetisi global seperti ini, Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu keharusan dalam rangka membangun kondisi perusahaan yang tangguh dan sustainable. GCG adalah suatu praktik pengelolaan perusahaan secara amanah dan prudensial dengan mempertimbangkan keseimbangan pemenuhan kepentingan seluruh stakeholders. Dengan implementasi GCG, maka pengelolaan sumberdaya perusahaan diharapkan menjadi efisien, efektif, ekonomis dan produktif dengan selalu berorientasi pada tujuan perusahaan dan memperhatikan stakeholders approach.
Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadbury, misalnya, pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report – mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadbury, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, Manajer, Pemagang Saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.

Centre for European Policy Studies (CEPS), punya foormula lain. GCG papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholder, bukan terbatas kepada shareholder saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholder secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholder menerima informasi yang diperlukan seputar kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaaan istilah. Kelompk negara maju (OECD), misalnya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggungjawab kepada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder lainnya. Karena itu fokus utama disini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu accountability, transparency, predictability dan participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut, GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang, tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definsi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai ‘pengaturan’. Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut ‘tata pamong’ atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dalam terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia yang benar.
Kemudian, GCG ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance atau GCG merupakan :
  • Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan Komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan para stakeholder lainnya.
  • Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengandalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang : pengelolaan salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
  • Suatu prose yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Contoh Kasus Yang Belum Menyimpang Dalam Menjalankan Good Corporate Governance (GCG)

PT. INDONESIA POWER

Sebagai salah satu anak BUMN besar dan berpengaruh, PT Indonesia Power  memiliki komitmen untuk terlibat dalam pertumbuhan Indonesia dengan berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian Indonesia dan menjadi contoh bagi perusahaan lain, terutama Anak BUMN lain, dalam hal implementasi GCG. Perusahaan menyadari bahwa  tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance, GCG) telah menjadi salah satu elemen penting bagi PT Indonesia Power  di dalam mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan dan juga menjadi perusahaan energi listrik nasional.

Praktik GCG Perusahaan telah diukur melalui berbagai bentuk pengukuran baik berdasarkan standar penilaian PLN maupun standar Kementerian Negara BUMN.  Pengukuran  standar Kementerian Negara BUMN dilakukan berdasarkan penilaian dari pihak  independen terhadap penerapan prinsip-prinsip GCG di perusahaan, Kriteria penilaian antara lain mencakup lima aspek pokok yaitu hak dan Tanggung Jawab Pemegang Saham, Kebijakan GCG, Penerapan GCG, Pengungkapan Informasi (Disclosure) dan Komitmen. Dari kelima aspek pokok tersebut, total nilai yang diperoleh oleh Perusahaan pada tahun 2010 adalah sebesar 81,04 dari total nilai maksimal yaitu sebesar 100,00 yang setara dengan 81,035% sehingga secara overall hasil assessment Implementasi GCG PT Indonesia Power tahun 2010 mendapatkan predikat “Baik”.

Guna mendorong penerapan GCG dapat terpantau secara lebih mendalam dan mampu di implementasikan oleh insan Indonesia Power pada seluruh tingkatan, maka Perusahaaan telah mempersiapkan alat ukur dalam bentuk self Assessment Check List ditiingkat korporat maupun Unit Kerja.

Indonesia Power telah menyusun Road Map GCG yang berisikan program dan strategi implementasi GCG untuk lima tahun kedepan.  Dengan  ketersediaan Road Map  GCG diharapkan tahapan implementasi GCG dapat dijalankan  secara berkelanjutan.

Rangkaian kegiatan sosialisasi GCG telah dijalankan oleh Indonesia Power. Baik melalui berbagai media sosialisasi, kegiatan workshop maupun TOT. Disamping itu untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang GCG dilingkungan internal Perusahaan, Indonesia Power telah  menyediakan Portal GCG dalam intranet  Perusahaan.

PT Indonesia Power  memahami pentingnya hubungan kerja yang harmonis serta kerjasama diantara organ-organ tata kelola, manajemen dan staf untuk mempertahankan dan meningkatkan praktik GCG di Perusahaan secara berkelanjutan. Untuk mendukung fungsi pengawasan, Dewan Komisaris telah membentuk tiga Komite di tingkat Dewan Komisaris yakni Komite Audit, Komite Nominasi, Remunerasi, Komite Manajemen Risiko.  Setiap Komite diketuai oleh anggota Dewan Komisaris, dan tugas serta tanggung jawab masing-masing Komite tercantum dalam masing-masing piagam yang dimiliki.

Dewan Komisaris, Komite-komite di tingkat Dewan Komisaris, Direksi, dan manajemen senior terus meningkatkan kapabilitas di dalam proses pengawasan dan pengelolaan perusahaan, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Evaluasi kinerja Dewan Komisaris dilakukan dengan menggunakan sistem self-assessment atau peer evaluation sebagaimana ditentukan dalam rapat Dewan Komisaris. Hasil kinerja dilaporkan di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Evaluasi ini dilakukan menggunakan kriteria yang disebutkan dalam manual kebijakan perusahaan seperti tingkat kehadiran di rapat Dewan Komisaris atau rapat Komite.

Evaluasi kinerja Direksi dilakukan oleh Dewan Komisaris berdasarkan Key Performance Indicators (KPIs) dan hasilnya dilaporkan di dalam RUPS.

Perusahaan  mengadopsi Sistem Manajemen berbasis Kinerja untuk mengevaluasi kinerja manajemen senior yang didasarkan pada beberapa faktor kunci seperti manajemen biaya, inovasi, proses operasional dan kepuasan pelanggan. Kinerja masing-masing senior manajemen terhubung dengan kinerja Direksi yang keseluruhannya berada dalam sistem Key Performance Index.

Perusahaan saat ini tengah bersiap untuk mengimplementasikan sistem imbal hasil berbasis kinerja bagi karyawannya yang akan menghubungkan kinerja masing-masing individu dengan remunerasi yang diperoleh. Evaluasi kinerja secara kolektif disetujui oleh Direksi dan setiap senior manajemen. Setiap tahun Direksi bertemu dengan senior manajemen dari unit bisnis di dalam forum Rapat Pimpinan untuk mengevaluasi dan memberi masukan terhadap kinerja masing-masing unit bisnis.

ANALISIS

Dari kasus diatas dapat dianalisis melalui teori GCG yaitu teori keagenan (agency theory), teori biaya transaksi (transaction cost theory) dan teori pemangku kepentingan (stakeholder theory) (Warsono 2009).

Teori Keagenan (agency theory)
Salah satu asumsi utama dari teori keagenan bahwa tujuan principal dan tujuan agen yang berbeda dapat memunculkan konflik karena manajer perusahaan cenderung untuk mengejar tujuan pribadinya.

Analisis : Dari kasus diatas dapat di analis melalui teori keagenan yaitu, penerapan sistem GCG yang dilakukan oleh PT. Indonesia Power telah menghasilkan yang memuaskan. Karena total nilai yang diperoleh oleh Perusahaan pada tahun 2010 adalah sebesar 81,04 dari total nilai maksimal yaitu sebesar 100,00 yang setara dengan 81,035% sehingga secara overall hasil assessment Implementasi GCG PT Indonesia Power tahun 2010 mendapatkan predikat “Baik”.
Selain itu, serangkaian kegiatan sosialisasi GCG telah dijalankan oleh Indonesia Power. Baik melalui berbagai media sosialisasi, kegiatan workshop maupun TOT.  

Teori Biaya Transaksi (Transaction Cost Theory)
Teori biaya transaksi merupakan gabungan inter – disipliner antar hukum, ekonomika dan organisasi. Teori ini berusaha memandang perusahaan bukan sebagai suatu unit ekonomik impersonal dalam suatu dunia pasar sempurna dan keseimbangan, melainkan perusahaan sebagai suatu organisasi yang terdiri dari orang-orang dengan pandangan dan tujuan yang berbeda-beda.

Analisis : Dari kasus diatas dapat di analisis melalui teori biaya transaksi yaitu, perusahaan benar-benar memahami pentingnya hubungan kerja yang harmonis serta kerjasama diantara organ-organ tata kelola, manajemen dan staf untuk mempertahankan dan meningkatkan praktik GCG di Perusahaan secara berkelanjutan. Selain itu, perusahaan juga mengadakan evaluasi kinerja bagi seluruh lapisan para pegawai maupun dewan komisaris. Untuk selanjutnya hasilnya akan dilaporkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).


Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)
Teori pemangku kepentingan adalah bahwa perusahaan telah menjadi sangat besar dan telah menyebabkan masyarakat menjadi sangat pervasive sehingga perusahaan perlu melaksanakan akuntabilitasnya terhadap sebagai sector masyarakat dan bukan hanya kepada pemegang sahamnya saja. 

Analisis : Dari kasus diatas dapat dianalisis melalui teori pemangku kepentingan yaitu, berdasarkan standar penilaian PLN maupun standar Kementerian Negara BUMN.  Perusahaan tersebut mendapatkan hasil penilaian yang baik, sehingga perusahaan semakin menyadari bahwa  tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance, GCG) telah menjadi salah satu elemen penting bagi PT Indonesia Power  di dalam mempertahankan keberlanjutan pertumbuhan dan juga menjadi perusahaan energi listrik nasional.

Sumber :